Koperasi, dalam hakikatnya, bukan sekadar entitas ekonomi, melainkan sebuah gagasan yang lahir dari semangat kolektivitas dan kesetaraan. Ia adalah wujud dari harapan akan sebuah sistem yang lebih adil, tempat individu-individu berkumpul, bukan sebagai pesaing dalam arena kapitalisme, tetapi sebagai mitra dalam perjuangan menuju kesejahteraan bersama. Namun, sebagaimana semua entitas yang terlahir ke dalam dunia ini, koperasi pun tunduk pada hukum eksistensi: ia hidup, berjuang untuk bertahan, dan pada akhirnya, mungkin mengalami kematian.
Kematian koperasi bukanlah sebuah kejadian tunggal, melainkan proses yang panjang, terkadang nyaris tak terlihat, seperti retakan halus pada marmer yang perlahan melebar hingga akhirnya runtuh. Ia tidak mati begitu saja, tetapi melewati tahap-tahap dekadensi yang tak terelakkan. Sebagaimana manusia yang dapat mati bukan hanya karena serangan dari luar, tetapi juga oleh kehancuran dari dalam, koperasi pun demikian. Ia dapat roboh oleh tekanan eksternal—regulasi yang tidak berpihak, persaingan yang kejam, disrupsi teknologi yang menggilas model bisnis lama. Namun, yang lebih tragis adalah kematian yang bermula dari dalam tubuhnya sendiri: pengelolaan yang lemah, konflik internal yang merusak kepercayaan, atau keengganan untuk berevolusi menghadapi perubahan zaman.
Di sini, kita melihat koperasi dalam dua ranah keberadaannya: sebagai fenomena eksternal dalam dunia material dan sebagai entitas ide dalam ranah gagasan. Jika koperasi sebagai realitas material runtuh karena kesalahan tata kelola dan tekanan ekonomi, koperasi sebagai ide hanya akan mati ketika ia tidak lagi memiliki daya hidup dalam imajinasi kolektif manusia. Dengan kata lain, koperasi yang buruk bisa bubar, tetapi koperasi sebagai gagasan hanya benar-benar mati jika manusia berhenti mempercayainya sebagai model yang relevan bagi kehidupan sosial dan ekonomi mereka.
Dalam perspektif Heideggerian, koperasi bisa kita pandang sebagai sebuah Dasein—keberadaan yang tidak hanya “ada” tetapi juga memiliki kesadaran akan dirinya sendiri. Ia tidak eksis dalam ruang hampa, melainkan selalu terlempar ke dalam dunia (Geworfenheit), dipaksa untuk bernegosiasi dengan realitas yang ada. Koperasi yang gagal adalah koperasi yang gagal merespons dunia di sekelilingnya, yang stagnan dalam Sein-zum-Tode—kesadaran akan kefanaannya tetapi tanpa upaya untuk melampauinya.
Nietzsche, dengan filsafat kehendak untuk berkuasa (Wille zur Macht), mengajarkan bahwa setiap entitas yang ingin bertahan harus memiliki vitalitas, daya hidup, keberanian untuk bertransformasi. Koperasi yang bertahan bukanlah yang sekadar menjaga status quo, tetapi yang berani menantang dirinya sendiri, mengadopsi cara berpikir baru, dan berevolusi seiring dengan perubahan zaman. Tanpa Wille zur Macht, koperasi tidak lebih dari sebuah ide yang perlahan membatu, kehilangan relevansi, dan akhirnya terkubur dalam sejarah.
Namun, di sisi lain, kita juga dapat memahami kegagalan koperasi dari perspektif dialektika Hegelian. Setiap koperasi adalah tesis, sebuah upaya untuk menciptakan ekonomi yang lebih demokratis. Ia kemudian bertemu dengan antitesisnya—kapitalisme konvensional, regulasi yang membatasi, tantangan-tantangan eksternal yang memaksa koperasi untuk menyesuaikan diri. Dalam dialektika ini, koperasi yang gagal adalah koperasi yang terhenti di tahap pertentangan, tanpa pernah mencapai sintesis, tanpa pernah melahirkan model baru yang lebih adaptif dan kontekstual.
Jika kita menelisik lebih dalam dengan kacamata eksistensialisme Sartrean, maka kita melihat bahwa koperasi, sebagaimana manusia, memiliki kebebasan radikal untuk menentukan nasibnya sendiri. Ia tidak sekadar “terjadi” begitu saja, melainkan selalu berada dalam proses menjadi (être en devenir). Koperasi yang gagal adalah koperasi yang kehilangan otentisitasnya—yang tak lagi mampu merumuskan dirinya sebagai subjek aktif dalam perubahan, melainkan hanya menjadi objek yang terseret arus sejarah.
Maka, ketika kita bertanya, “Bagaimana koperasi mati?” kita sebenarnya sedang mengajukan pertanyaan yang jauh lebih mendalam: apakah kematian koperasi adalah sesuatu yang niscaya, ataukah ia dapat dihindari? Jika koperasi hanya dipahami sebagai institusi ekonomi yang terikat oleh hukum pasar, maka mungkin ia memang akan mati ketika gagal bersaing. Tetapi jika koperasi dipahami sebagai semangat kolektif, sebagai gagasan tentang ekonomi yang lebih manusiawi, maka kematiannya bergantung pada kita—apakah kita masih percaya pada gagasan itu atau justru telah menyerah pada sistem yang ada.
Mungkin, pada akhirnya, koperasi tidak benar-benar mati. Ia hanya menunggu untuk lahir kembali, dalam bentuk yang lebih kuat, lebih adaptif, lebih relevan. Seperti Fénix yang bangkit dari abu, koperasi yang jatuh bisa menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya, agar kegagalan yang sama tidak terulang. Sebab, dalam setiap kehancuran, selalu ada benih bagi penciptaan yang baru.
Tinggalkan Balasan