shares, dax, diagram, interest charges, index, money, finance, fund, capital, business, stock market index, bank, course history, development, world market, market, inflation, deflation, economic crisis, stability, currency, exchange, startup, investments, credit, inflation, inflation, inflation, inflation, inflation

Kebahagiaan global merupakan topik yang senantiasa menarik untuk dikaji, terutama dalam kaitannya dengan subjective well-being (SWB), sebuah konsep yang menekankan pada evaluasi subjektif individu terhadap kehidupannya. SWB tidak hanya mencakup pengalaman emosi positif seperti kegembiraan dan kepuasan, tetapi juga melibatkan minimnya perasaan negatif serta adanya persepsi bahwa hidup berjalan sesuai harapan (Noba Project, 2024). Faktor-faktor yang memengaruhi SWB beragam, mencakup elemen internal seperti kepribadian, optimisme, dan resiliensi, serta elemen eksternal yang meliputi kualitas hubungan sosial, kondisi ekonomi, serta akses terhadap kebutuhan dasar (Diener, Oishi, & Tay, 2018).

Dalam konteks ini, Ipsos Global Happiness Index 2025 menjadi salah satu rujukan penting dalam memahami dinamika kebahagiaan di berbagai negara. Survei ini tidak hanya merekam tingkat kebahagiaan, tetapi juga mengidentifikasi faktor-faktor utama yang berkontribusi terhadap perasaan bahagia individu di seluruh dunia. Dengan mengaitkan data tersebut dengan teori kebutuhan dasar serta berbagai riset ilmiah tentang kesejahteraan, kita dapat menggali wawasan lebih dalam tentang apa yang membuat hidup manusia terasa bermakna dan memuaskan.

Faktor-faktor Penentu Kebahagiaan Global

Hasil dari Ipsos Global Happiness Index 2025 menunjukkan bahwa kebahagiaan, dalam skala global, sangat ditentukan oleh aspek kehidupan pribadi. Hubungan keluarga menjadi faktor utama, dipilih oleh 36% responden sebagai sumber kebahagiaan terbesar mereka. Ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan emosional, rasa aman, dan afiliasi yang diberikan oleh keluarga dalam membentuk kesejahteraan psikologis individu. Teori Self-Determination oleh Deci dan Ryan (2000) menggarisbawahi bahwa kebutuhan akan rasa memiliki (relatedness) merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, di samping kebutuhan akan kompetensi dan otonomi, untuk mencapai kesehatan psikologis dan kebahagiaan.

Tak jauh berbeda, 35% responden juga menyebutkan perasaan dihargai dan dicintai sebagai sumber kebahagiaan mereka. Ini menegaskan bahwa validasi sosial dan keterhubungan emosional merupakan elemen esensial dalam kehidupan manusia. Studi oleh Lambert et al. (2020) dalam Journal of Happiness Studies menunjukkan bahwa pengalaman menerima kasih sayang dan pengakuan sosial berdampak positif terhadap peningkatan emosi positif dan mengurangi gejala depresi.

Selain itu, rasa kontrol atas hidup dan kesehatan mental masing-masing disebutkan oleh sekitar 25% responden sebagai faktor penting. Ini selaras dengan hasil penelitian dari Ryan dan Deci (2017) yang menegaskan bahwa otonomi, atau kemampuan untuk mengarahkan hidup sesuai dengan nilai dan keinginan pribadi, berkontribusi besar terhadap perasaan bermakna dan bahagia. Kesehatan mental, di sisi lain, menjadi prasyarat agar individu dapat merasakan dan menikmati aspek-aspek positif dalam hidup.

Situasi finansial pribadi juga disebutkan oleh 24% responden. Di tengah ketidakpastian global seperti pandemi, inflasi, dan krisis ekonomi, kestabilan finansial menjadi landasan penting untuk menjaga kebahagiaan. Penelitian oleh Kahneman dan Deaton (2010) menemukan bahwa hingga batas tertentu, peningkatan pendapatan berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan emosional, meskipun setelah kebutuhan dasar terpenuhi, pengaruhnya mulai menurun.

Menariknya, faktor eksternal yang lebih luas seperti kondisi ekonomi nasional, situasi politik, atau keamanan negara hanya dipilih oleh sebagian kecil responden. Ini mendukung teori yang diajukan oleh Diener et al. (2018) bahwa kebahagiaan individu cenderung lebih dipengaruhi oleh kondisi mikro (kehidupan personal) ketimbang kondisi makro (lingkungan negara).

Dalam literatur yang lebih mutakhir, Tov dan Diener (2022) dalam jurnal Emerald International Journal of Wellbeing menegaskan bahwa hubungan interpersonal, kesehatan, dan persepsi kontrol atas kehidupan tetap menjadi prediktor kuat bagi SWB di berbagai budaya. Ini memperkuat validitas temuan Ipsos 2025 yang menunjukkan konsistensi lintas budaya dalam faktor-faktor pembentuk kebahagiaan.

Prediksi Tren Masa Depan dan Implikasi Strategis

Meskipun demikian, Ipsos mencatat bahwa sejak 2011, tingkat kebahagiaan global cenderung menurun. Ini memberikan sinyal bahwa tantangan struktural seperti meningkatnya kesenjangan ekonomi, ketidakpastian politik, perubahan iklim, serta pandemi global berdampak nyata pada kesejahteraan masyarakat. Jika tidak diantisipasi, tren negatif ini bisa berlanjut dan memperparah ketidakpuasan hidup di berbagai belahan dunia.

Namun, ada secercah harapan. Kesadaran global terhadap pentingnya kesehatan mental meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Upaya kolektif untuk memperbaiki layanan kesehatan mental, mendorong inklusi sosial, dan memperkuat solidaritas komunitas dapat berfungsi sebagai penyeimbang terhadap faktor-faktor eksternal yang menggerus kebahagiaan.

Dari perspektif kebijakan, temuan Ipsos 2025 memberikan panduan strategis penting. Pertama, pemenuhan kebutuhan dasar harus tetap menjadi prioritas. Seperti ditegaskan dalam teori kebutuhan Maslow (1943), kebutuhan fisiologis dan keamanan merupakan fondasi bagi pencapaian tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, termasuk rasa memiliki dan aktualisasi diri.

Kedua, investasi dalam layanan kesehatan – baik fisik maupun mental – sangat krusial. Penelitian terbaru dalam International Journal of Mental Health Nursing (Emerald) menyatakan bahwa intervensi kesehatan mental berbasis komunitas efektif meningkatkan kesejahteraan kolektif, terutama di masyarakat dengan sumber daya terbatas.

Ketiga, pembangunan modal sosial melalui penguatan jaringan keluarga, komunitas, dan lingkungan yang mendukung otonomi individu akan meningkatkan kebahagiaan jangka panjang. Hal ini sejalan dengan konsep social capital dari Putnam (2000), yang menggarisbawahi pentingnya kepercayaan, norma sosial, dan jejaring dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian, menciptakan lingkungan yang mendukung hubungan interpersonal yang sehat, menyediakan layanan kesehatan yang terjangkau dan bermutu, serta memastikan akses ekonomi yang adil merupakan langkah-langkah strategis yang harus diambil oleh negara dan organisasi.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, Ipsos Global Happiness Index 2025 memperjelas bahwa aspek personal – hubungan keluarga, rasa dihargai, kesehatan mental, kontrol atas hidup, dan stabilitas finansial – menjadi pilar utama kebahagiaan individu. Meski kondisi eksternal seperti situasi politik dan ekonomi penting, mereka bukanlah faktor dominan dalam menentukan perasaan bahagia sehari-hari.

Tantangan masa depan menuntut perhatian lebih serius terhadap ketidaksetaraan ekonomi, kesehatan mental, serta solidaritas sosial. Dalam dunia yang semakin kompleks, upaya bersama dari sektor publik, swasta, dan komunitas menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang memberdayakan, adil, dan mendukung kesejahteraan setiap individu.

Referensi:

Diener, E., Oishi, S., & Tay, L. (2018). Happiness: The Science of Subjective Well-Being. Noba Project. Link

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “What” and “Why” of Goal Pursuits: Human Needs and the Self-Determination of Behavior. Psychological Inquiry, 11(4), 227–268.

Lambert, N. M., Stillman, T. F., Hicks, J. A., Kamble, S., Baumeister, R. F., & Fincham, F. D. (2020). To belong is to matter: Sense of belonging enhances meaning in life. Journal of Happiness Studies.

Tov, W., & Diener, E. (2022). Subjective Well-Being: Conceptualizations and Measurement. Emerald International Journal of Wellbeing.

Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon & Schuster.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *