Analisis Tren Pengangguran Indonesia 2024 dalam Konteks Makroekonomi dan Kebijakan Ketenagakerjaan

Pendahuluan

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia pada tahun 2024 mencapai salah satu titik terendah dalam dua dekade terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan TPT Februari 2024 sebesar 4,82%, turun dari 5,45% pada Februari 2023. Kemudian pada Agustus 2024, TPT tercatat 4,91%, lebih rendah dibanding 5,32% pada Agustus 2023. Penurunan angka pengangguran ini mengindikasikan pemulihan pasar tenaga kerja pascapandemi COVID-19 dan perbaikan kondisi ekonomi secara umum. Laporan ini akan membahas tren pengangguran Indonesia pada kuartal I dan III tahun 2024, mengaitkannya dengan indikator-indikator ekonomi makro (seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, dan sektor dominan tenaga kerja) serta meninjau kebijakan ketenagakerjaan nasional yang relevan. Selain itu, dianalisis pula perubahan struktur tenaga kerja menurut sektor, peningkatan partisipasi angkatan kerja, dan berbagai tantangan kebijakan ketenagakerjaan ke depan.

Tren Pengangguran Kuartal I dan III 2024

Data resmi BPS memperlihatkan penurunan signifikan tingkat pengangguran secara tahunan pada kedua periode survei tenaga kerja tahun 2024. Pada Februari 2024 (kuartal I), TPT Indonesia turun menjadi 4,82%, dari sebelumnya 5,45% pada Februari 2023. Penurunan ini merupakan capaian terendah setidaknya sejak krisis 1997, sejalan dengan berkurangnya jumlah penganggur hampir 10% secara year-on-year (yoy) menjadi sekitar 7,20 juta orang, sementara penduduk bekerja bertambah menjadi 142,18 juta orang. Kuatnya penyerapan tenaga kerja menyebabkan angka pengangguran kuartal I 2024 turun 0,63 poin persentase dibanding tahun sebelumnya.

Pada Agustus 2024 (kuartal III), tren positif tersebut berlanjut meskipun terdapat sedikit kenaikan musiman dibanding kuartal I. TPT Agustus 2024 tercatat 4,91%, lebih rendah 0,41 poin dibanding Agustus 2023 yang sebesar 5,32%. Jumlah penganggur turun menjadi sekitar 7,47 juta orang, seiring kenaikan jumlah penduduk bekerja sebesar 3,42% yoy mencapai 144,64 juta orang. Dengan kata lain, dari Agustus 2023 ke Agustus 2024 tercipta hampir 4,8 juta lapangan kerja baru neto, yang mampu menyerap pertambahan angkatan kerja sekaligus mengurangi tingkat pengangguran. Perlu dicatat bahwa survei ketenagakerjaan nasional (Sakernas) dilaksanakan dua kali setahun (Februari dan Agustus), sehingga angka kuartal I dan III merefleksikan situasi semesteran ketenagakerjaan. Secara keseluruhan, tahun 2024 menunjukkan perbaikan kondisi ketenagakerjaan Indonesia dibanding tahun sebelumnya, ditandai TPT yang menurun secara tahunan baik pada awal maupun pertengahan tahun.

Pengaruh Indikator Makroekonomi terhadap Pengangguran

Perbaikan indikator pengangguran pada 2024 tidak terlepas dari kondisi makroekonomi Indonesia yang relatif kondusif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tinggi dan stabil di kisaran 5% pada tahun 2024, yang berarti aktivitas produksi dan konsumsi meningkat sehingga mendorong penciptaan lapangan kerja. Sebagai ilustrasi, pada kuartal III 2024 PDB Indonesia tumbuh sekitar 4,95% (yoy). Pertumbuhan ekonomi yang solid ini berkontribusi langsung pada penyerapan tenaga kerja, terutama di sektor-sektor yang padat karya. Sektor konsumsi rumah tangga yang kuat menjaga permintaan terhadap barang dan jasa, sehingga dunia usaha memperluas produksi dan membutuhkan tambahan tenaga kerja.

Indonesia: Tingkat inflasi dari 1987 hingga 2029, sumber: Statista 2025

Di sisi lain, inflasi yang terkendali turut mendukung iklim ketenagakerjaan. Inflasi Indonesia menurun dari level tinggi pascapandemi menjadi relatif rendah pada tahun 2024 – rata-rata sekitar 2,5% dibanding 3,7% pada 2023. Bahkan pada akhir 2024, inflasi tahunan mencapai hanya 1,57%, mendekati batas bawah target bank sentral. Stabilnya harga-harga ini menjaga daya beli masyarakat dan biaya input produksi, sehingga perusahaan dapat mempertahankan ekspansi tanpa tertekan oleh kenaikan biaya yang berlebihan. Inflasi yang rendah juga berarti upah riil pekerja tidak tergerus, berimplikasi positif pada kesejahteraan tenaga kerja dan kestabilan pasar kerja.

Selain itu, investasi yang meningkat menjadi pendorong penting penciptaan lapangan kerja baru. Sepanjang 2024, realisasi investasi (gabungan Penanaman Modal Dalam Negeri/PMDN dan Penanaman Modal Asing/PMA) tumbuh pesat sekitar 20,8% secara tahunan, mencapai Rp1.714 triliun. Peningkatan investasi ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi Indonesia dan ditopang oleh proyek-proyek besar (misalnya pembangunan infrastruktur dan pemindahan ibu kota negara) serta masuknya modal ke sektor manufaktur dan jasa. Investasi baru biasanya disertai pembukaan pabrik, usaha, atau proyek konstruksi yang membutuhkan tenaga kerja, sehingga kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja signifikan. Lapangan kerja yang tercipta dari proyek investasi pemerintah maupun swasta – misalnya konstruksi jalan, pembangunan pabrik, atau pembukaan gerai retail – membantu menurunkan pengangguran terutama bagi tenaga kerja terskill menengah dan rendah.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua sektor mengalami perbaikan serupa. Sektor manufaktur sempat menunjukkan tanda perlambatan pada pertengahan 2024 – indeks PMI manufaktur Indonesia turun mendekati level terendah 4 tahun di sekitar kuartal III – yang dapat membatasi laju penciptaan pekerjaan di industri. Meskipun demikian, secara agregat kondisi makroekonomi 2024 cukup mendukung ekspansi kesempatan kerja. Kombinasi pertumbuhan ekonomi yang kuat, inflasi terkendali, dan arus investasi yang tinggi menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyerapan tenaga kerja, sehingga angka pengangguran dapat menurun meskipun angkatan kerja terus bertambah.

Perubahan Struktur Tenaga Kerja dan Partisipasi Angkatan Kerja

Seiring membaiknya pasar kerja, terjadi beberapa perubahan dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia pada 2024. Pertama, angka partisipasi angkatan kerja meningkat, yang berarti proporsi penduduk usia kerja yang aktif bekerja atau mencari kerja bertambah. BPS mencatat Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) naik sekitar 0,5 poin pada Februari 2024 dan 1,15 poin pada Agustus 2024 dibanding tahun sebelumnya. Pada Agustus 2024, TPAK mencapai ~70,6%, lebih tinggi dari 69,5% setahun sebelumnya. Kenaikan partisipasi ini setara penambahan 4,40 juta orang dalam angkatan kerja sepanjang Agustus 2023–Agustus 2024. Peningkatan TPAK biasanya mencerminkan optimisme tenaga kerja (misalnya lebih banyak orang terdorong mencari kerja karena peluang kerja membaik) serta bertambahnya penduduk usia kerja produktif. Dengan lebih banyak penduduk yang masuk pasar kerja, tantangan bagi perekonomian adalah menyerap tambahan tenaga kerja tersebut agar pengangguran tidak naik. Fakta bahwa pada 2024 pengangguran berhasil turun di tengah naiknya TPAK menunjukkan penyerapan tenaga kerja yang cukup kuat pada tahun tersebut.

Kedua, terjadi pergeseran komposisi tenaga kerja menurut lapangan usaha/sektor. Sektor-sektor tertentu mengalami pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang menonjol, sejalan dengan pola pemulihan ekonomi. Pada awal 2024, sektor penyediaan akomodasi dan makan minum (pariwisata) menunjukkan lonjakan tertinggi: jumlah pekerja di sektor ini Februari 2024 meningkat 960 ribu orang dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan ini terbesar di antara semua lapangan usaha, menandakan pemulihan pariwisata, perhotelan, dan bisnis kuliner pascapandemi yang kembali menyerap banyak tenaga kerja. Sektor konstruksi dan beberapa sektor jasa lainnya juga tumbuh, selaras dengan investasi infrastruktur dan konsumsi masyarakat.

Menariknya, pada Agustus 2024 sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan justru menjadi penopang utama penyerapan tenaga kerja dengan penambahan 1,31 juta pekerja dibanding Agustus 2023. Pertanian (beserta kehutanan dan perikanan) tetap merupakan sektor dominan tenaga kerja di Indonesia, baik dari sisi total pekerja maupun kontribusinya dalam penyerapan tambahan pekerja baru. Kenaikan kesempatan kerja di sektor pertanian ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: perbaikan harga komoditas pertanian yang mendorong tenaga kerja kembali ke sektor ini, serta program-program pembangunan di perdesaan (padat karya pertanian, pembangunan irigasi, dll.) yang meningkatkan kebutuhan tenaga kerja sektor primer. Sementara itu, sektor industri manufaktur relatif stagnan dalam penyerapan tenaga kerja pada 2024, sejalan dengan beberapa indikator perlambatan di sektor tersebut. Hal ini mengindikasikan struktur ekonomi Indonesia masih sangat bertumpu pada sektor primer dan jasa tradisional untuk penyerapan tenaga kerja, dengan transformasi menuju sektor manufaktur modern yang berjalan lambat.

Ketiga, terjadi peningkatan porsi pekerjaan formal dalam struktur ketenagakerjaan, meskipun pekerja informal masih merupakan mayoritas. BPS mencatat pada Februari 2024 sebanyak 58,05 juta orang bekerja di kegiatan formal (sekitar 40,83% dari total pekerja). Angka ini meningkat 0,95 poin persentase dibanding tahun sebelumnya, menunjukkan ada pergeseran sebagian tenaga kerja informal menjadi formal. Tren ini berlanjut dan makin kuat pada Agustus 2024, di mana 60,81 juta orang atau 42,05% bekerja di sektor formal. Peningkatan +1,16 poin persentase secara tahunan pada Agustus 2024 menandakan kemajuan dalam formalisasi tenaga kerja – misalnya melalui penciptaan pekerjaan formal baru di sektor swasta maupun migrasi pekerja informal ke pekerjaan berupah tetap. Meskipun demikian, masih sekitar 58% pekerja nasional berada di sektor informal, seperti petani subsisten, pedagang kecil, pekerja lepas, dan lain-lain. Sektor informal yang dominan berarti banyak pekerja tanpa jaminan sosial dan produktivitas relatif rendah, sehingga menjadi perhatian khusus dalam kebijakan ketenagakerjaan.

Keempat, indikator kualitas pekerjaan menunjukkan dinamika yang perlu dicermati. Persentase setengah pengangguran (pekerja paruh waktu yang ingin jam kerja lebih banyak) meningkat sebesar 1,32 poin pada Agustus 2024 dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan underemployment ini menyiratkan bahwa sebagian pekerja masih belum memperoleh jam kerja atau pendapatan optimal meski tidak tercatat sebagai penganggur terbuka. Sementara itu, pekerja paruh waktu (yang bekerja kurang dari jam normal) menurun 0,46 poin, mungkin karena sebagian berhasil beralih ke pekerjaan penuh waktu. Indikator lain, seperti pekerja komuter, naik sedikit menjadi 7,59 juta orang (+210 ribu yoy), mengindikasikan urbanisasi tenaga kerja dan mobilitas geografis untuk bekerja meningkat. Secara keseluruhan, struktur tenaga kerja Indonesia pada 2024 menunjukkan perbaikan moderat: penyerapan tenaga kerja terjadi di berbagai sektor (dengan jasa dan pertanian dominan), proporsi pekerjaan formal meningkat, namun pekerjaan informal dan underemployment masih cukup tinggi sehingga kualitas pekerjaan tetap menjadi agenda penting.

Kebijakan Ketenagakerjaan Nasional yang Relevan

Perkembangan positif angka pengangguran pada 2024 tidak lepas dari dukungan berbagai kebijakan ketenagakerjaan nasional yang diimplementasikan pemerintah. Salah satu upaya utama adalah program padat karya (cash-for-work) yang gencar dilakukan pascapandemi untuk menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja kurang terampil dan di wilayah perdesaan. Pemerintah menggelontorkan anggaran besar untuk program padat karya melalui berbagai kementerian. Sebagai contoh, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada tahun 2024 mengalokasikan Rp7,22 triliun untuk program Padat Karya Tunai, dengan target menciptakan sekitar 297 ribu lapangan kerja di sektor infrastruktur. Program padat karya PUPR ini mencakup proyek perbaikan irigasi, pembangunan jalan desa, perumahan, dan infrastruktur lokal lain yang melibatkan masyarakat setempat sebagai pekerja harian. Realisasi program padat karya terbukti efektif membantu menekan pengangguran: pada 2023, program padat karya PUPR bahkan berhasil menyerap 763 ribu tenaga kerja (melebihi target). Melalui padat karya, pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat sekaligus menyediakan pekerjaan sementara bagi penganggur atau setengah penganggur, terutama di masa sulit atau musim paceklik. Pada 2024, dengan ekonomi yang membaik, program padat karya tetap dilanjutkan untuk mendukung kelompok rentan dan mengurangi pengangguran struktural di pedesaan.

Selain padat karya, pemerintah juga fokus pada peningkatan keterampilan tenaga kerja lewat program pelatihan vokasi. Program Kartu Prakerja merupakan salah satu inisiatif unggulan yang dimulai 2020 dan berlanjut hingga 2024, bertujuan memberikan pelatihan dan insentif bagi pencari kerja atau pekerja informal agar meningkatkan keterampilan mereka. Pemerintah menganggarkan sekitar Rp4,8 triliun pada tahun 2024 untuk melatih 1,14 juta peserta program Kartu Prakerja. Peserta program ini mendapatkan akses kursus keterampilan (misalnya pelatihan digital, bahasa, kewirausahaan, dll.) serta insentif dana setelah menyelesaikan pelatihan, sehingga diharapkan lebih siap memasuki pasar kerja atau membuka usaha sendiri. Pelatihan vokasional juga dilakukan melalui Balai Latihan Kerja (BLK) di berbagai daerah dan program pendidikan vokasi (SMK, politeknik) yang kurikulumnya terus disesuaikan dengan kebutuhan industri. Dengan meningkatkan employability tenaga kerja, khususnya generasi muda, program-program vokasi berkontribusi menurunkan pengangguran jangka menengah-panjang dan mengurangi mismatch keterampilan.

Pemerintah juga menjalankan kebijakan untuk penguatan sektor informal dan UMKM yang menyerap banyak tenaga kerja. Melalui UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, pemerintah berupaya mempermudah perizinan usaha mikro dan kecil, meringankan biaya dan prosedur mendirikan usaha, serta mendorong formalisasi usaha informal. Kemudahan berusaha ini diharapkan memacu penciptaan usaha baru di sektor informal yang dapat menyerap tenaga kerja lokal. Di samping itu, program bantuan permodalan dan kredit mikro (seperti Kredit Usaha Rakyat/KUR) terus ditingkatkan agar pelaku usaha kecil memperoleh dukungan finansial untuk mengembangkan usahanya dan mempekerjakan lebih banyak orang. Dari sisi perlindungan, perluasan cakupan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja informal juga menjadi perhatian: misalnya, pemerintah mendorong pekerja sektor informal bergabung dalam program BPJS Ketenagakerjaan (seperti jaminan kecelakaan kerja dan jaminan hari tua sukarela) serta memperkenalkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja formal yang terkena PHK agar mereka mendapatkan pelatihan dan tunjangan sementara. Walau implementasinya bertahap, kebijakan-kebijakan ini menunjukkan pendekatan komprehensif pemerintah untuk menurunkan pengangguran tidak hanya melalui pertumbuhan ekonomi, tetapi juga lewat intervensi pasar tenaga kerja langsung dan peningkatan kualitas tenaga kerja.

Tantangan Ketenagakerjaan ke Depan

Meskipun capaian penurunan pengangguran pada 2024 cukup impresif, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan ketenagakerjaan ke depan yang perlu diantisipasi dalam kebijakan. Pertama, jumlah angkatan kerja akan terus tumbuh seiring bonus demografi, sehingga penciptaan lapangan kerja baru harus berkelanjutan dan dalam skala besar. Setiap tahun sekitar 2–3 juta penduduk usia produktif masuk ke pasar kerja, termasuk lulusan baru. Tantangan ini khususnya terlihat pada pengangguran kaum muda (15–24 tahun) yang masih tinggi; misalnya, TPT kelompok umur 20–24 tahun mencapai sekitar 15,3% pada 2024, jauh di atas rata-rata nasional. Menyediakan pekerjaan layak bagi generasi muda menjadi prioritas agar bonus demografi tidak berubah menjadi beban. Hal ini menuntut peningkatan investasi berkelanjutan di sektor-sektor padat tenaga kerja dan berkualitas, serta dorongan kewirausahaan di kalangan pemuda.

Kedua, meski tingkat pengangguran rendah, mutu pekerjaan masih menjadi pekerjaan rumah. Tingginya proporsi pekerja informal dan kenaikan underemployment menunjukkan banyak pekerja berada dalam pekerjaan rentan atau produktivitas rendah. Kebijakan perlu difokuskan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan transisi informal ke formal. Ini bisa dicapai dengan memperkuat sektor manufaktur dan jasa modern melalui hilirisasi industri, digitalisasi ekonomi, dan peningkatan iklim investasi di sektor bernilai tambah tinggi. Jika ekonomi mampu bergeser ke basis manufaktur dan jasa modern, akan tercipta lebih banyak pekerjaan formal dengan upah lebih baik, sekaligus menyerap tenaga kerja yang sekarang terjebak di sektor informal tradisional. Pemerintah perlu melanjutkan reformasi struktural dan insentif bagi industri yang menyerap tenaga kerja besar (misalnya industri padat karya seperti tekstil, makanan/minuman, elektronik assembly), namun juga memastikan peningkatan upah dan kondisi kerja sejalan produktivitas.

Ketiga, mismatch keterampilan dan kualitas SDM memerlukan perhatian lanjutan. Walaupun program vokasi seperti Kartu Prakerja membantu, skala tantangan sangat besar mengingat jutaan tenaga kerja masih berpendidikan relatif rendah. Sektor-sektor ekonomi baru (ekonomi digital, teknologi hijau, dsb.) membutuhkan keterampilan yang berbeda dengan pekerjaan tradisional. Tanpa pembenahan signifikan dalam pendidikan dan pelatihan, dikhawatirkan terjadi kesenjangan keterampilan yang membuat pengangguran struktural bertahan. Oleh karena itu, investasi pada pendidikan vokasional formal, pelatihan teknis di industri (industrial training), sertifikasi keterampilan, dan kemitraan antara dunia usaha dan lembaga pendidikan harus ditingkatkan. Kolaborasi dengan sektor swasta untuk program apprenticeship atau on-the-job training dapat menjadi solusi mempercepat alih keterampilan sesuai kebutuhan pasar.

Keempat, dinamika ekonomi global dan nasional bisa menghadirkan tantangan baru. Perlambatan ekonomi global atau gejolak (misalnya resesi di negara mitra dagang, fluktuasi harga komoditas, atau krisis finansial) dapat berdampak pada sektor-sektor pengekspor dan investasi, yang pada gilirannya mengancam kelangsungan lapangan kerja. Misalnya, jika permintaan ekspor menurun, industri manufaktur berorientasi ekspor mungkin mengurangi produksi dan tenaga kerja. Demikian pula, otomasi dan digitalisasi jangka panjang bisa mengurangi kebutuhan tenaga kerja di beberapa sektor tradisional. Maka, pemerintah harus sigap menyiapkan program antisipasi dan adaptasi: peningkatan fleksibilitas tenaga kerja (melalui reskilling dan upskilling), perluasan perlindungan sosial bagi yang terdampak, dan diversifikasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada sektor tertentu.

Terakhir, disparitas regional juga perlu diatasi. Tingkat pengangguran bervariasi antardaerah; beberapa provinsi masih memiliki TPT di atas 6-7%, sementara daerah lain di bawah 3%. Penyebaran investasi dan pembangunan yang lebih merata akan menjadi kunci mengurangi pengangguran di daerah tertinggal. Program padat karya dan proyek infrastruktur di luar Jawa, misalnya, perlu terus ditingkatkan agar menciptakan efek ganda penyerapan tenaga kerja lokal. Selain itu, memperkuat sektor pertanian modern dan UMKM di daerah dapat menyerap tenaga kerja dimana industri besar belum berkembang.

Simpulan

Tahun 2024 menandai perbaikan signifikan dalam situasi ketenagakerjaan Indonesia. Tingkat pengangguran terbuka turun ke kisaran di bawah 5% pada kuartal I dan III 2024, sebuah pencapaian yang didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil, inflasi yang rendah, dan lonjakan investasi yang menciptakan jutaan lapangan kerja baru. Sektor-sektor seperti jasa akomodasi, pertanian, dan konstruksi menjadi penyerap tenaga kerja utama, sementara partisipasi angkatan kerja meningkat mencerminkan kepercayaan tenaga kerja terhadap pasar kerja. Berbagai kebijakan pemerintah, dari program padat karya hingga pelatihan vokasi, berperan dalam menurunkan pengangguran dan meningkatkan keterampilan pekerja. Meskipun demikian, tantangan ke depan masih kompleks: kualitas pekerjaan dan dominasi sektor informal perlu dibenahi, penciptaan kesempatan kerja harus mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja muda, serta antisipasi terhadap perubahan ekonomi makro dan teknologi harus disiapkan.

Sebagai penutup, diperlukan sinergi berkelanjutan antara kebijakan ekonomi makro yang pro-pertumbuhan dan pro-ketenagakerjaan, serta kebijakan ketenagakerjaan aktif yang memberdayakan tenaga kerja dan melindungi kelompok rentan. Reformasi struktural yang mendorong transformasi ekonomi ke sektor bernilai tambah tinggi harus diiringi dengan investasi pada sumber daya manusia. Dengan demikian, Indonesia dapat memanfaatkan momentum positif 2024 untuk menciptakan pasar kerja yang lebih inklusif, produktif, dan resilien di masa mendatang.

Referensi:

Badan Pusat Statistik (BPS). Berita Resmi Statistik: TPT Februari 2024 sebesar 4,82%. 6 Mei 2024.

Badan Pusat Statistik (BPS). Berita Resmi Statistik: TPT Agustus 2024 sebesar 4,91%. 5 November 2024.

Trading Economics. Indonesia Q1 Jobless Rate Drops to 4.82%. 6 Mei 2024.

Trading Economics. Indonesia Q3 Jobless Rate Falls to 4.91%. 5 November 2024.

Trading Economics. Indonesia GDP Annual Growth Rate. 2025.

Statista. Indonesia: Inflation rate 2022–2024. 2024.

Reuters. Indonesia’s FDI at $55.3 bln in 2024. 25 Jan 2025.

Antara News. Pemerintah sediakan Rp7,22 triliun untuk program padat karya 2024. 2 Apr 2024.

Kompas. Target Peserta Kartu Prakerja 2024. 16 Mei 2024.

Badan Pusat Statistik Indonesia. (6 Februari 2025). Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasarkan Kelompok Umur, 2024. Diakses pada 3 Mei 2025, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTE4MCMy/tingkat-pengangguran-terbuka-berdasarkan-kelompok-umur.html


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *