
Ketika membicarakan kepemimpinan, bayangan kita sering tertuju pada sosok visioner yang tegas, memberi arahan, dan menentukan arah organisasi dari posisi tertinggi. Namun, dalam dunia koperasi, kepemimpinan memiliki makna yang berbeda. Ia bukan tentang dominasi, melainkan tentang pelayanan. Pemimpin koperasi tidak berdiri di atas, melainkan berada di tengah—menghubungkan anggota, mendengarkan aspirasi, dan memfasilitasi pengambilan keputusan bersama. Kepemimpinan dalam koperasi adalah tentang bagaimana membangun kepercayaan dan merawat nilai-nilai kolektif yang menjadi dasar berdirinya koperasi itu sendiri. Secara historis dan filosofis, koperasi tumbuh dari gagasan bahwa masyarakat bisa membentuk sistem ekonomi alternatif—yang lebih adil, setara, dan berakar pada solidaritas. Karena itulah, kepemimpinan dalam koperasi lebih dekat dengan semangat kolaborasi dibandingkan kompetisi. Di sini, pemimpin bukanlah aktor tunggal yang membawa organisasi ke depan, melainkan bagian dari orkestrasi kolektif yang bergerak bersama anggota.
Studi terbaru dari kawasan Asia Timur menunjukkan bahwa pendekatan kolaboratif justru menjadi kunci sukses dalam organisasi koperasi. Penelitian oleh Lu et al (2024) mengungkap bahwa pemimpin yang mampu menciptakan ruang dialog, membangun kepercayaan, dan melibatkan anggota dalam proses pengambilan keputusan, jauh lebih efektif dibanding mereka yang bersikap otoritatif. Dalam konteks budaya kolektif Asia, kepemimpinan koperasi yang terbuka dan partisipatif terbukti lebih relevan dan berdaya tahan. Hal ini juga sejalan dengan temuan Birchall dan Simmons (2004), yang menyatakan bahwa pemimpin koperasi tidak hanya perlu memahami cara menjalankan bisnis secara efisien, tapi juga harus konsisten menjaga nilai-nilai dasar koperasi. Tantangannya muncul ketika koperasi harus bertahan di tengah tekanan pasar. Di saat seperti ini, keputusan seorang pemimpin bisa menentukan apakah koperasi akan tetap setia pada prinsip atau mulai tergoda mengadopsi cara-cara korporat murni.
Perubahan zaman juga membawa tantangan baru. Koperasi digital, seperti koperasi pekerja lepas atau koperasi agritech, menuntut pemimpin yang tidak hanya paham teknologi, tapi juga mampu menjaga ruh kolektif dalam interaksi virtual. Novkovic dan Miner (2015) dalam artikelnya menyebutkan bahwa model kepemimpinan koperasi masa kini harus lincah membaca perubahan, namun tetap berpijak pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi anggota sebagai prinsip utama.
Kalau kita tarik ke ranah filosofis, konsep servant leadership—atau kepemimpinan yang melayani—terasa sangat pas untuk koperasi. Gagasan ini mengajarkan bahwa pemimpin seharusnya hadir bukan untuk dilayani, tapi justru untuk melayani. Ia memperhatikan kebutuhan orang lain, mendengar dengan empati, dan membantu anggota berkembang. Ini bukan idealisme kosong—dalam praktiknya, pemimpin koperasi yang menerapkan gaya ini sering kali lebih dipercaya dan dihormati oleh anggotanya.
Namun tentu saja, realitas organisasi tak selalu berjalan mulus. Dalam koperasi besar, sering muncul ketegangan antara dewan pengurus dan manajemen profesional. Seperti yang diungkap oleh Cornforth (2004), dualitas peran ini—antara menjaga nilai dan mengelola efisiensi—menjadi dilema tersendiri. Di sinilah pemimpin dituntut untuk mampu menjembatani dua kepentingan yang sering kali tidak sejalan, tanpa membuat koperasi kehilangan identitasnya. Selain itu, faktor budaya juga tidak bisa diabaikan. Dalam tinjauan literatur oleh Iorga dan timnya (2025), ditemukan bahwa budaya organisasi dan konteks sosial sangat memengaruhi gaya kepemimpinan yang efektif. Di negara-negara dengan struktur sosial yang hierarkis, pemimpin koperasi kadang harus mengadopsi pendekatan yang lebih terstruktur agar tetap bisa diterima oleh anggotanya. Ini membuktikan bahwa kepemimpinan koperasi, meskipun berakar pada nilai universal, tetap perlu adaptif secara lokal.
Lalu bagaimana mencetak pemimpin koperasi yang ideal? Jawabannya: PENDIDIKAN. Salah satu prinsip koperasi versi International Co-operative Alliance (ICA) memang menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Tapi bukan cuma pelatihan teknis seperti akuntansi atau pemasaran. Yang dibutuhkan adalah pengembangan karakter dan pemahaman etika koperasi. Sebab, sebaik apa pun strategi bisnis, tanpa integritas kepemimpinan, koperasi mudah goyah. Penelitian oleh Novkovic dan Miner (2015) menekankan pentingnya kepemimpinan yang adaptif dalam menghadapi kompleksitas tata kelola koperasi. Mereka menyoroti bahwa pemimpin koperasi harus memiliki kapasitas untuk berinovasi dan menavigasi ketidakpastian pasar, sambil tetap menjaga prinsip partisipasi anggota dan nilai solidaritas sebagai fondasi utama. Dari semua ini, satu hal menjadi jelas: kepemimpinan dalam koperasi adalah proses yang dinamis. Ia bukan sekadar keterampilan teknis, tapi juga cerminan nilai dan kepekaan terhadap konteks. Pemimpin koperasi yang sukses adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara nilai ideal dan realitas lapangan, antara kepentingan bisnis dan kepentingan anggota.
Di tengah dunia yang makin individualistis, pendekatan kolektif koperasi dan gaya kepemimpinan yang inklusif bisa menjadi alternatif yang menjanjikan. Ini bukan hanya soal model bisnis, tapi juga cara membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan. Maka, memikirkan dan memperkuat kepemimpinan koperasi bukan hanya soal organisasi—tapi juga tentang masa depan kita bersama.
Tulisan ini dibuat dalam rangka memperkaya literasi koperasi dan semangat berkoperasi serta menyambut Rapat Anggota Tahunan Ikopin University Cooperative (IU Coop) yang ke 41
Referensi:
Lu, P. C., Wang, H. C., & Lin, Y. C. (2024). Unveiling Leadership Dynamics in East Asia Region. ACSS.
Iorga, M., Marchiș, M., & Antofie, I. (2025). Improving Leadership Skills Among Hospital Pharmacists. Farmacia Journal.
Birchall, J., & Simmons, R. (2004). What motivates members to participate in co-operative and mutual businesses? Annals of Public and Cooperative Economics, 75(3), 465–495. https://doi.org/10.1111/j.1467-8292.2004.00259.x
Novkovic, S., & Miner, K. (2015). Co-operative governance fit to build resilience in the face of complexity. J. of Co-operative Organization and Management, 3(1), 14–23. https://doi.org/10.1016/j.jcom.2015.02.001
Cornforth, C. (2004). The governance of cooperatives and mutual associations: A paradox perspective. Annals of Public and Cooperative Economics, 75(1), 11–32. https://doi.org/10.1111/j.1467-8292.2004.00241.x
ICA (2021). Co-operative Identity, Values & Principles. International Co-operative Alliance. https://www.ica.coop/en/co-operatives/cooperative-identity
Spears, L. C. (2010). Ten characteristics of effective, caring leaders. Journal of Virtues & Leadership, 1(1), 25–30.
Novkovic, S., & Miner, K. (2015). Co-operative governance fit to build resilience in the face of complexity. Journal of Co-operative Organization and Management, 3(1), 14–23.
Tinggalkan Balasan