
Membangun Entrepreneurial University atau universitas berbasis inovasi dan kewirausahaan merupakan langkah strategis dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks dan dinamis, terutama dalam ekonomi berbasis pengetahuan. Universitas ini dipahami bukan sekadar institusi yang menghasilkan wirausahawan, tetapi sebagai pusat unggulan yang secara proaktif menciptakan inovasi, menerapkan hasil riset ke dalam solusi nyata, dan menjalin kemitraan strategis dengan berbagai pihak, termasuk industri, pemerintah, dan masyarakat luas menurut Etzkowitz dan Zhou (2023).
Dalam konteks ini, universitas tidak hanya berfungsi sebagai entitas produksi pengetahuan, melainkan sebagai institusi yang mewujudkan cita-cita phronesis—kebijaksanaan praktis seperti dijelaskan Aristoteles. Entrepreneurial University bertindak sebagai agen moral dan intelektual dalam masyarakat, bukan semata-mata mesin kapitalis yang memproduksi laba. Ia dituntut untuk menyeimbangkan antara dorongan pragmatis inovasi dan komitmen etis terhadap kebenaran dan kesejahteraan bersama. Hal ini mencerminkan pendekatan virtue ethics, di mana tindakan institusi diukur tidak hanya dari hasilnya, tetapi dari kualitas moral dan niat yang melatarbelakanginya.
Istilah Entrepreneurial University pertama kali diperkenalkan oleh Etzkowitz melalui konsep Triple Helix yang menekankan sinergi tiga pihak utama: akademisi, industri, dan pemerintah. Menurut Carayannis dan Campbell (2018), dalam perkembangannya konsep ini diperluas menjadi Quadruple dan Quintuple Helix, yang menambahkan elemen masyarakat sipil serta aspek lingkungan sebagai komponen penting dalam ekosistem inovasi. Dalam pandangan ini, universitas bukan sekadar tempat pengajaran atau riset fundamental, tetapi juga katalisator penting bagi pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial berbasis pengetahuan dan inovasi.
Dalam kerangka pemikiran Habermasian, Triple dan Quintuple Helix bisa dipahami sebagai bentuk komunikasi rasional antar sistem sosial yang saling bergantung. Universitas sebagai arena diskursus ilmiah dituntut untuk menjaga otonomi intelektualnya sambil menjembatani logika pasar dan birokrasi negara. Di sinilah relevansi teori communicative action muncul: universitas harus menciptakan ruang dialogis, di mana kepentingan inovasi tetap terikat pada prinsip deliberatif dan konsensus rasional, bukan dominasi satu aktor atas yang lain.
Menurut Etzkowitz dan Zhou (2023), Entrepreneurial University mencakup transformasi internal yang komprehensif, di mana budaya inovasi dan pola pikir kewirausahaan menjadi bagian intrinsik dari operasional akademik maupun non-akademik. Peran strategis universitas dalam ekosistem inovasi global semakin diperkuat melalui kebijakan yang mendorong kolaborasi aktif antar pemangku kepentingan, khususnya melalui program akselerasi bisnis dan inkubator yang terintegrasi dengan kegiatan akademik. Sebagai contoh, menurut laporan Financial Times (2021), Technical University of Munich melalui unit UnternehmerTUM berhasil menciptakan 11 perusahaan unicorn yang secara signifikan berkontribusi pada inovasi dan ekonomi regional di Jerman.
Menurut Clark (1998), ada lima pilar utama dalam membangun universitas berbasis inovasi dan kewirausahaan, yaitu kepemimpinan strategis yang kuat, otonomi institusional yang memadai, diversifikasi sumber pendanaan, pembentukan budaya inovasi, serta jaringan eksternal yang luas dan kuat. Sementara itu, menurut Thomas et al. (2023), integrasi antara pengajaran, riset terapan, komersialisasi hasil penelitian, dan pemberdayaan komunitas adalah faktor krusial yang menentukan keberhasilan transformasi ini. Universitas yang berhasil menerapkan konsep ini biasanya mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan akademik dan tuntutan pasar serta masyarakat.
Namun demikian, dalam kaca mata Foucaultian, dinamika transformasi ini tidak lepas dari relasi kuasa yang melekat dalam produksi dan distribusi pengetahuan. Universitas yang terlalu larut dalam logika pasar berpotensi menjadi alat biopolitik, mengarahkan pengetahuan bukan lagi demi pencarian kebenaran, tetapi untuk melayani logika profit dan efisiensi. Oleh karena itu, perlu ada kesadaran kritis (critical consciousness), seperti yang ditawarkan oleh Freire (1970), agar universitas tetap berpihak pada pembebasan dan pemberdayaan, bukan sekadar adaptasi terhadap tuntutan ekonomi.
Menurut laporan Global Entrepreneurship Monitor (2024), secara global sebanyak 49% responden enggan memulai usaha karena takut gagal, meningkat dari 44% pada tahun 2019. Kondisi ini menegaskan pentingnya peran universitas dalam menanamkan mindset kewirausahaan dan inovasi sejak dini melalui kurikulum yang terintegrasi. Pendidikan kewirausahaan yang efektif dinilai mampu mengurangi ketakutan akan kegagalan serta membekali mahasiswa dengan keterampilan yang relevan untuk menghadapi tantangan pasar kerja yang semakin kompetitif.
Menurut OECD (2021), universitas yang mampu mendorong inovasi dan kewirausahaan secara efektif biasanya memiliki unit-unit strategis seperti Technology Transfer Office (TTO), inkubator bisnis, serta program mentoring yang intensif. Hal ini tercermin dari keberhasilan berbagai universitas global seperti Stanford University, Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan National University of Singapore (NUS), yang secara konsisten menghasilkan spin-off perusahaan teknologi tinggi dengan kontribusi ekonomi signifikan.
Di sisi lain, tantangan utama dalam transformasi ini adalah memastikan bahwa orientasi bisnis tidak mengorbankan esensi akademik, terutama dalam hal kebebasan riset dan integritas ilmiah. Menurut Siegel dan Wright (2015), universitas perlu mengembangkan kebijakan internal yang tegas guna menjaga keseimbangan antara kepentingan komersial dan akademik agar tidak terjadi distorsi misi dasar pendidikan tinggi.
Di Indonesia sendiri, proses transformasi menuju universitas berbasis inovasi dan kewirausahaan menghadapi tantangan besar seperti keterbatasan sumber daya, minimnya infrastruktur pendukung inovasi, serta kultur akademik yang masih terkotak-kotak. Namun demikian, menurut Kemendikbudristek (2021), kebijakan nasional seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) menjadi momentum penting dalam mendorong perguruan tinggi untuk semakin terbuka terhadap paradigma inovasi dan kewirausahaan yang terintegrasi dalam kurikulum dan kegiatan akademiknya.
Secara global, menurut World Bank (2021), universitas dengan pendekatan kewirausahaan telah menunjukkan dampak nyata terhadap perekonomian nasional, terutama dalam menciptakan lapangan kerja baru dan inovasi berkelanjutan. Di Eropa, menurut laporan European Commission (2023), lebih dari 50% startup teknologi sukses berasal dari program inkubasi universitas. Fakta ini menguatkan pentingnya penguatan ekosistem inovasi yang berpusat di perguruan tinggi.
Dengan demikian, membangun Entrepreneurial University berarti menciptakan institusi pendidikan tinggi yang secara aktif merespons dinamika sosial-ekonomi melalui pendekatan inovatif, kolaboratif, dan berorientasi pada solusi nyata. Dalam jangka panjang, universitas yang sukses menerapkan pendekatan ini tidak hanya akan menjadi pusat riset unggulan, tetapi juga motor penggerak ekonomi yang berkelanjutan, dinamis, dan inklusif bagi masyarakat luas. Namun lebih dari itu, ia juga harus menjadi institusi reflektif yang menjaga roh pendidikan: pencarian kebenaran, pembebasan manusia, dan kontribusi moral terhadap masa depan yang adil.
Daftar Pustaka:
Carayannis, E. G., & Campbell, D. F. J. (2018). Quadruple and Quintuple Helix Innovation Systems and Mode 3 Knowledge Production. Springer International Publishing.
Clark, B. R. (1998). Creating Entrepreneurial Universities: Organizational Pathways of Transformation. Pergamon.
Etzkowitz, H., & Zhou, C. (2023). The Entrepreneurial University and the Triple Helix Model of Innovation. Springer.
European Commission. (2023). European Innovation Scoreboard 2023. European Commission.
Financial Times. (2021). Technical University of Munich’s UnternehmerTUM. Retrieved from https://www.ft.com/content/d30a4ebc-21e5-4c49-9ac0-b930e87c30ac
Global Entrepreneurship Monitor (GEM). (2024). Global Entrepreneurship Monitor 2024 Report. GEM Consortium.
Kemendikbudristek. (2021). Merdeka Belajar Kampus Merdeka: Panduan Implementasi. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
OECD. (2021). University-Industry Collaboration: New Evidence and Policy Options. OECD Publishing.
Siegel, D. S., & Wright, M. (2015). Academic Entrepreneurship: Time for a Rethink? British Journal of Management, 26(4), 582-595.
Thomas, E., Sarpong, D., & Stevens, E. (2023). Ambidexterity in the entrepreneurial university: Balancing conflicting goals. The Journal of Technology Transfer, 48(2), 289-311.
World Bank. (2021). The Role of Universities in Entrepreneurship and Economic Growth. World Bank Publications.
Tinggalkan Balasan